Pengikut

Minggu, 15 April 2012

ekstrimisme


RESUME
PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Psikologi Belajar PAI
Dosen Pengampu : Dra. Hj.Susilaningsih. MA.





Di Susun Oleh :
Yogie Enjang Gumilar
09410041
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012



PSIKOLOGI POLITIK TENTANG EKSTRIMISME POLITIK (Lusia Astrika, S.IP, M.Si) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP - UNDIP
A.    Apa itu Ekstrimis ?
Seseorang dikatakan ekstrimis bila :
1.   Sangat antusias dan sangat berlebihan dalam tindakan yang tidak tepat, karena terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi yang berlebihan dalam melihat dunia ini.
2.   Hanya memperhatikan logika berpikir dari perilaku mereka sendiri, pemikiran pihak lain lewat, dan cenderung close mind.
3.   Tidak berempati terhadap pihak lain dan cenderung tidak manusiawi terhadap korban-korban mereka.

B.     Apa Penyebabnya?
Penyebabnya adalah sebagai berikut :
1.   Aktifitas kelompok dan ideology.
a.    Cataldo Neuberger and Valentini (1996), Pearlstein (1991) dan Post (1990) mengatakan bahwa penyebab ekstremis adalah penyimpangan kepribadian / mental disorder.
b.   Tetapi Braungart & Braungart (1992), Crenshaw (2000), Rabbie (1991), Ross (1994), dan Silke (1998) menolak pandangan tersebut, mereka berargumentasi bahwa kepribadian bukanlah penyebab ekstremisme.
c.    Secara politik, perilaku ekstrimis dipandang bukan dari hasil psycopathologi / mental disorder, melainkan karena adanya ideologi bersama yang kuat dan solidaritas kelompok yang kokoh (aktivitas kelompok).
d.   Baumeister (1997:190) mengatakan bahwa perilaku kekerasan oleh ekstrimis hampir selalu didorong oleh semangat kelompok. Dalam hal ini ada dukungan dan tekanan dari kelompok, sehingga peran individu sendiri tidak begitu kuat.
e.    Tajfel dan Turner (1979) menyatakan banyak perilaku sosial kita yang bisa dijelaskan dari kecenderungan kita untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan. Tajfel dan Turner mengemukakan tiga proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai golongan ‘kita’ atau ‘mereka’.
1)      Pengelompokan sosial, kita mengidentifikasikan diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial. Kita semua cenderung membuat pengelompokan social seperti jender, ras, dan kelas. Beberapa kelompok sosial lebih relevan bagi sebagian orang daripada yang lain, misalnya penggemar sepak bola dan pecinta kucing. Kelompok yang kita anggap paling penting berbeda-beda menurut individu yang bersangkutan, tetapi kita tidak bergabung dengan kelompok karena individunya. Kita menerima kelompok-kelompok yang kita tahu memang penting. Tentu saja kita bisa mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari beberapa kelompok sekaligus.
2)      Identifikasi sosial, kita mengambil identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika anda mengelompokkan diri anda sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan anda akan mengambil identitas sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang anda percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. Identifikasi anda pada suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional, dan harga diri anda akan terkait erat dengan keanggotaan kelompok.
3)      Perbandingan sosial. Sekali kita sudah mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung membandingkan kelompok kita dengan kelompok lain. Bila harga diri kita harus dipertahankan, kelompok kita harus dibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok lain. Inilah yang penting dalam memahami prasangka, sebab begitu dua kelompok mengidentifikasikan diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan permusuhan diantara kelompok bukan hanya masalah berebut sarana seperti pekerjaan, tetapi juga dampak dari identitas yang diperebutkan. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan prasangka.

2.   Peran social learning theory
Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain / masyarakat untuk belajar, menurut Ausubel terdapat 4 macam tipe belajar:
a.    Reception Learning (menerima):  individu hanya menyerap bahan yang tersedia dan bisa mereproduksi kembali.
b.   Discovery learning (menemukan): individu menemukan sendiri materi yang harus dipelajari. Menyerap, mengorganisir dan mengintegrasikan materi ke dalam struktur kognitif
c.    Rote Learning (menghafal): mengingat-ingat bahan yang dipelajari secara verbatim (rangkaian kata-kata)
d.   Meaningful learning (mengartikan): bahan yang dipelajari secara potensial mempunyai arti; menghubungkan informasi/ konsep baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan relevan. Permasalahannya, pembelajaran di lingkungan masyarakat seringkali dilakukan dengan pola yang salah.
Jika pada awalnya manusia ibarat selembar kertas putih, maka lukisan yang ditorehkan diatasnya sebagian besar adalah hasil dari adanya proses belajar. Adanya penanaman informasi yang keliru pada proses pembelajaran, mengakibatkan individu mengalami brain wash, sehingga dirinya akan mengikuti segala kemauan si pencuci otak. Jadi, peran social learning disini sangat kuat dalam membentuk seseorang untuk bertindak ekstrim.
Contoh : seseorang bisa saja sangat baik, sangat empati terhadap orang lain, tetapi ketika mereka diberi pelajaran bahwa agama lain, warna kulit lain adalah jelek / buruk, atau suku lain adalah jelek maka hal itu akan menyebabkan munculnya tindakan yang ekstrem sebagai hasil dari pembelajaran tersebut

3.   Bias persepsi
Persepsi adalah representasi fenomenal tentang objek distal, sebagai hasil organisasi objek distal itu sendiri, medium dan stimulus proksimal. George dan Wilcox menyatakan bahwa semua manusia cenderung bias dan melihat sesuatu berdasarkan cara pikir yang mereka yakini sendiri. Manusia cenderung menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan dirinya sendiri dan seringkali menyelewengkan atau memanipulasi sesuatu dalam rangka mempertahankan integritas dan kelanggengan kepentingan mereka sendiri. (yang perlu diingat adalah bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Adanya aktivitas kelompok dan brain wash, akan semakin mendukung munculnya bias persepsi pada kelompok tertentu, sehingga pada akhirnya akan memunculkan pola close mind, dan cenderung mengkambing hitamkan (scape goat) kelompok tertentu ataupun keadaan yang ada. Contoh : kondisi ekonomi yang parah dan kemiskinan sering dituduh sebagai penyebab munculnya kelompok2 ekstrem. Dampaknya adalah, ketika justifikasi sosial terlalu besar, maka akan menimbulkan dehumanisasi dari kelompok yang dikambing-hitamkan tersebut.



KESIMPULAN

1.      Ekstrimisme merupakan gerakan ekstrim yang lebih banyak disebabkan oleh faktor kelompok / lingkungan.
2.      Ekstremis dapat berbentuk state actor maupun non state actor.
3.      Ekstrimis dapat direkrut melalui berbagai macam cara, baik yang bersifat kontak personal maupun paksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semangat....!!!